03 Desember 2010

mwathirika : di mata seorang saila rezcan ...


saila rezcan is a student of Gadjah Mada University.. watched mwathirika for 2 times
(thank you, saila... it's an honor to be written by a talented writer like you.. this writing is really beautiful... and yes.. you got the point! love! )

  MWATHIRIKA ada di mana-mana   

   

Mwathirika, sebuah kata dalam Bahasa Swahili yang dalam Bahasa Indonesia berarti Korban. Sebuah pementasan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre ini bercerita tentang sejarah abu-abu Negara ini, yaitu peristiwa pasca September 2010. Bagi saya pribadi, pemilihan tema yang dekat dengan kita sendiri merupakan salah satu nilai plus dari pementasan ini. Karena tema yang dekat mengajak kita untuk melihat “kita”, kita diajak untuk kembali melihat kaca spion, sudah sejauh mana jarak kita dari masa lalu? Mengapa kita berdiri di sini sekarang? Mau pergi ke mana lagi selanjutnya?

    Sebelum pertunjukkan dimulai, tampak setting panggung dengan tokoh Baba dan Haki duduk di kursi, seperti sedang minum teh. Alunan lagu dengan suara vokal perempuan yang sangat vintange mengiringi satu persatu penonton yang masuk. Walaupun saya tak tahu lagu apa itu, entah kenapa ada perasaan satir yang saya rasakan saat mendengarnya, padahal beat lagu itu tidak bisa dibilang mendayu. Hebat, kekuatan musik memang hebat. Di sini saya tidak akan menceritakan bagaimana alur cerita pementasan akan berjalan, tidak. Toh inti cerita abu-abu ini selalu sama saja. Saya hanya ingin memberikan beberapa pemaknaan yang saya tangkap dari pementasan ini.

|Mata

Sebuah instalasi berbentuk mata yang menggantung di samping rumah Baba saya artikan sebagai lambang sebuah alat untuk melihat dan membedakan mana yang benar dan salah. Mata ini bergerak-gerak di bagian awal pementasan, kemudian tokoh Baba keluar dari mata itu. Maka ketika di bagian akhir pementasan sang mata ini jatuh dan mati, saat itulah masyarakat seolah buta. Apapun, siapapun yang berhubungan atau bahkan hanya menyentuh sedikit tentang segitiga merah, akan langsung dimusnahkan. Seperti Tupu dan Lacuna yang akhirnya hilang hanya karena meniup peluit berwarna merah.
Mata juga terdapat pada dinding rumah Haki. Namun mata yang ini berbeda dengan mata di rumah Baba, mata ini lebih saya asumsikan sebagai lambang pengawas, pengawas atas apa yang dilakukan masyarakat. Mungkin sedikit mengingatkan saya pada istilah masa Orde Baru “dinding rumah punya mata dan telinga”.

|Tukang mainan

Tokoh tukang mainan yang menyebarkan bendera merah dengan penuh suka cita ini bagi saya mengingatkan pada bagaimana awal mula PKI masuk pada masyarakat kelas bawah: membagi-bagikan sesuatu. Saya teringat salah satu scene pada Film Soe Hoek Gie, di mana saat itu PKI membagi-bagikan kaos pada masyarakat, dan masayarakat yang lugu dan tak tahu menahu mengenai politik tentu saja menerima pemberian itu dengan gembira. Pada masa itu, rakyat kecil mana sih yang tak antusias terhadap sesuatu yang gratis? Bahkan si tukang mainan pun mungkin hanya orang awam yang membagikan bendera karena diberi upah, mungkin.

|Baba

Berasal dari Bahasa Swahili. Baba berarti Ayah. Tokoh Baba yang bertangan satu benar-benar berhasil merepresentasikan wong cilik yang lemah, tak berdaya yang jelas tak memiliki niat sedikitpun untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah. Ia hanya orang biasa yang hidup dan bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, hanya itu.

|Haki

Haki juga masih berasal dari Bahasa Swahili, artinya Kanan. Sungguh cara yang menarik untuk menuangkan bagaimana paham pernah terbagi dua antara “orang kiri” dan “orang kanan”. Haki merupakan tetangga Baba yang menurut saya jauh lebih paham politik dibandingkan Baba yang polos. Ia oportunis, memilih untuk menghindari keterlibatan dengan “kiri”. Entah karena ia benar-benar berideologi “kanan” atau hanya karena takut.

|Moyo

Moyo, dari Bahasa Swahili artinya Hati. Seorang kakak yang hanya tahu bahwa ia harus menjaga adiknya saat sang Ayah “menghilang”. Namun akhirnya ia pun harus ikut hilang.

|Tupu

Tupu artinya Kosong. Nama yang pas untuk sebuah karakter yang begitu polos dan lugu. Tupu hanya tahu makan jika lapar, menangis bila sedih, tertawa saat gembira, dan takut jika sendirian……………………………………

|Kesedihan

Kejadian pasca September 1965 jelas sudah banyak dibaca, diketahui serta dituangkan dalam tulisan-tulisan, karya-karya visual, dan yang lainnya. Kita semua tahu bahwa bangsa ini pernah memiliki sejarah abu-abu yang menyesakkan. Sangat menyedihkan melihat Tupu ditinggal sendirian karena Ayah dan Kakaknya menghilang diambil tentara, sangat menyakitkan melihat animasi di panggung bagian belakang yang menampilkan gambar boneka-boneka manusia yang di dadanya tergambar lambang segitiga merah diambil oleh tangan-tangan raksasa kemudian menghilang.
Namun bukan kematian-kematian itu sendiri yang membuat saya sesak nafas, jauh lebih dalam daripada itu, jauh lebih dalam daripada sekedar “kok tokoh utamanya mati…”, “kok ceritanya sad ending…”, “kasian…padahal bonekanya lucu…”. Kesedihan yang saya rasakan adalah kesedihan saat menyadari, bahwa betapa bangsa ini pernah begitu kejam membantai saudaranya sendiri…….. Saya tak habis pikir bagaimana bisa kejadian sekejam itu bisa terjadi, manusiakah orang yang ada di balik semua ini?

Ada orang yang berpendapat bahwa mengingat-ingat masa lalu yang kejam adalah sesuatu yang sia-sia, kurang kerjaan, dan hanya membuang waktu saja. Tapi tidak bagi saya. Melihat dan mengingat apa yang terjadi di masa lalu dapat membuatmu berpikir ulang tentang semuanya. Menyadari adanya kekejian di masa lalu membuat saya berdoa, semoga sejarah kelam itu tak akan pernah terulang lagi di masa depan, semoga kami, manusia-manusia yang hidup di masa sekarang dapat belajar untuk lebih menjadi manusia. Sudah terlalu banyak cerita tentang pembunuhan massal, genosida, pembantaian, perang dan segala konspirasi busuk yang menyayat di masa lalu, di mana nyawa manusia tak dihargai sebagaimana mestinya. Sudah banyak kejadian mwathirika-mwathirika yang lain di dunia ini. Sudah cukup.


(you can check saila's Blog in HERE )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar