25 Januari 2011

mwathirika : di mata Insaf Albert Tarigan ...

Wednesday, January 19, 2011

Mwathirika: Membaca Ulang Peristiwa 30 September 1965

Pada suatu pagi yang indah dan cerah di bulan September 1965, Tupu, seorang gadis kecil bermain kuda-kudaan dengan ceria di depan rumahnya. Tak lama berselang, dari balik pintu rumah berdinding kayu itu, turun seorang bocah lelaki perlahan-lahan menuruni tangga rumah yang juga terbuat dari kayu, khas rumah pedesaan pada masa itu. Dialah Moyo, kakak Tupu, datang dengan menggenggam sebuah balon merah. Keduanya lantas asyik bermain, meloncat-loncat, berlarian, diam, lari lagi, diam lagi dan pada akhirnya juga rebutan mainan. Tupu merengek manja hingga memaksa Moyo mengalah dan memberikan balonnya. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, simbol komunikasi sendiri yaitu meniup pluit merah untuk memanggi satu sama lain.

Hari-hari kedua bocah ini penuh dengan kegembiraan, bertetangga baik dengan Haki yang memiliki putri bernama Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda hingga pada suatu malam muncul tanda segitiga merah di dinding jendela rumah Tupu dan Moyo. Oleh ayah mereka, Baba, yang bertangan satu, tanda itu sebenarnya coba dihapuskan namun upaya itu gagal. Siapa gerangan yang membuatnya?

Hari-hari berikutnya, kehidupan mereka mendadak berubah secara drastis. Suatu hari misalnya tiba-tiba segerombolan tentara bersenjata laras panjang mendatangi halaman rumah saat Baba sedang membetulkan kuda-kudaan Tupu yang rusak, dengan palu. Setelah melihat tanda segitiga, para serdadu berwajah sangar itu “mengambil” Baba. Mereka berdua sangat ketakutan dan tak mengerti mengapa sang Ayah tak pulang-pulang hingga malam dan keesokan hari. Baba juga tak berkata apa-apa saat dibawa tentara selain menyerahkan kuda-kudaan Tupu yang sudah selesai diperbaiki. Haki juga tak lagi tamah dan melarang Lacuna bermain bersama Tupu dan Moyo.

Begitulah adegan pembukan Cerita Kecil di Mwathirika, garapan terbaru Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre dalam rangka memeriahkan pameran Indonesia and the World in 1965 di GoetheHaus, Jakarta. Pameran ini berlangsung sejak 18-21 Januari dengan ditandai peluncuran buku, konferensi internasional dan pertunjukan tari. Acara berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh sekelompok orang yang mengaku penentang komunisme dan paham komunisme.

Mwathirika, seperti kata Maria dan Iwan, adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang disampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Mereka menggunakan boneka jenis bunraku dan kuruma ningyo dari Jepang sebagai tokoh dan menggunakan bahasa Swahili sebagai judul pementasan sekaligus nama-nama karakter.

Dunia Tupu dan Moyo mirip dengan kehidupan Scout Finch dan Jeremy Atticus “Jem” Finch, dua anak bersaudara dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang juga berlatarbelakang pedesaan dan fokus pada prasangka negatif terhadap ras kulit hitam di Amerika Serikat.

Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu dan Moyo kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.

Namun, di situlah letak kekuatan Mwathirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak, dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.

Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.

Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?


*catatan

Foto diambil dari http://papermoon-puppet.blogspot.com/



Insaf Albert Tarigan can be met in HERE

03 Januari 2011

Experiencing MWATHIRIKA: Where Puppetry Collides with Indonesia’s Dark History




by Astrid Reza

Watching puppets re-enact a violent past in the hands of their masters, the horror that suddenly stirred inside me was how real it could all feel. With a Neverland-esque setting and an Orwellian tone that awaken the monsters of our nightmares in the opening scenes, MWATHIRIKA recounts the darkest episode in Indonesia’s contemporary history. It tells of Indonesia’s ghost of the past, present and future. 

Using the Japanese style bunraku and kuruma ningyo puppets specifically designed for the play, this performance by Papermoon Puppet Theatre from Yogyakarta is meant for teen and adult audiences. MWATHIRIKA means “victim” in Swahili. The 1965 purge of every communist-related person by the Indonesian army had claimed millions, traumatizing the nation until today. The play reflects the younger generation’s different spirit in reinterpreting the nation’s history.

The storyline created by a daughter of former Lieutenant Colonel of Indonesian Air Force, Maria Tri Sulistyani, and a grandson of a dalang (wayang puppet-master) who was a political prisoner for 13 years, Iwan Effendi. ‎This collaborative work is part of their personal memory, dedicated to all the victims of “The Tragedy of 1965.”

It began with Moyo and his little brother Tupu, raised by their father, Baba, a hard workingman with only one hand. ‎​They are a happy family. Their neighbours are Haki and his daughter Lacuna, who is on a wheelchair. They live peacefully side-by-side until a situation larger than themselves made things go horribly wrong. A mark of a red triangle at Baba’s house and a small red whistle changes everything.
The performance sent chills down my spine over and over. The whistle shrills out Tupu’s unspeakable ache. He has now lost both his father and brother, taken away forever by the MWATHIRIKA army. He keeps on blowing the whistle in the darkness, wanting to be heard.‎​In one moment I felt suffocated and wanted to close my ears. The scene forced the audience to cry in silence.

‎There were barely any verbal exchanges in the performance, but the masks' expressions, the puppets' dynamic movements, the expressive music and the animated background said it all the way we have always understood it. Puppetry does speak the universal language of losing when our innocence, loved ones, humanity, words and history slipped away.

‎​The performance borrows the perspective of a child experiencing one of the country's greatest tragedies, and that scared me.‎​ A child's simple honesty can easily touch our hearts. When they get hurt or violated, we can find ourselves there: our small and vulnerable beings. Every time violence knocks on the door of a childhood, the wound stays, often ruining everything that grows.I realized something grave after watching MWATHIRIKA. We, the violated, have the potential to turn into the source of violence and destruction. The cycle of human ruthlessness is terrifying.‎​This story represents every human tragedy of our civilization.

The Papermoon Puppet Theatre delivered all these horrifying memories with originality. Every piece was done with remarkable attention to details, metaphors, and symbols, creating a nearly perfect composition. It’s one of the best shows I have seen in my eight years living in Yogyakarta. One obvious fact at the end of the play makes it felt very humane. It shows the flaw of our lives as a part of history – a nation’s history – creating a better understanding in what makes us human.

MWATHIRIKA is a puppet theatre performance by Papermoon Puppet Theatre, which ran their play on 1st – 3rd December at LIP (Lembaga Indonesia Perancis), Yogyakarta, Indonesia.
Papermoon Puppet Theatre founded in 2006, based in Yogyakarta, they could be contacted via email: papermoon_child@yahoo.com and their blog: http://www.papermoon-puppet.blogspot.com