24 Mei 2011

a post from Sundea- Salam Matahari : about MWATHIRIKA in Jakarta...

Mwathirika Tak Dihitung Seperti Matematika

-Goethe Institute, Jakarta, Selasa, 18 Januari 2011-

Pertunjukkan Boneka Mwathirika


Di panggung itu kata-kata hilang. Tapi bahasa tidak. Ia menjelma pada gestur boneka yang ekspresif, simbol-simbol yang tersirat, ilustrasi musik yang mengafirmasi cerita, dan catatan-catatan di kepala kita sendiri. Malam itu lima tokoh boneka menjadi bintang sepenggal sejarah. Manusia-manusia yang menghidupkan mereka menjadi bayang-bayang.



Tersebutlah Baba, lelaki pekerja keras bertangan satu yang tinggal bersama kedua puteranya, Moyo dan Tupu. Bertetangga dengan mereka, tinggal Haki dan puterinya yang berkursi roda, Lacuna. Kedua keluarga itu hidup rukun bertetangga dan bahagia. Meski tanpa sosok ibu, anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan wajar.



Tetapi situasi politik kemudian berubah. Semenjak cap segitiga merah tertoreh di jendela rumah Baba, ia menjadi buron. Haki yang mencari aman menjaga jarak. Anak-anak yang tak paham apapun ditinggalkan dalam kebingungan ketika Baba tiba-tiba dibawa pergi oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Moyo akhirnya pergi mencari Baba, namun tak pernah kembali. Si kecil Tupu yang manja lalu sebatang kara, dicengkeram perasaan tidak aman, menghadapi bayang-bayang yang mundar-mandir di sekitarnya, dan pada akhirnya dipeluk dengan nyaman oleh sang pemain boneka. Di sana, seperti masa kini yang memeluk sejarah, dalang dan boneka tidak lagi dipisahkan oleh bingkai. 


Lakon ini digarap oleh pasangan suami istri yang bersentuhan langsung dengan sejarah kelam 1959-1969; Maria Tri Sulistyani (anak Letkol TNI AU) dan Iwan Effendi (cucu dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun). Ingatan personal masa kecil itu kemudian melahirkan sebuah kisah yang juga langsung membidik hati dan tidak cerewet menggerutukan hal-hal klise. Sepanjang pementasan, bertaburan simbol yang mungkin tak sepenuhnya kita tahu, tapi seutuhnya dapat dirasakan. Karakter anak-anak yang tanpa tendensi membuat pertunjukkan ini hadir sebagai sub dari sebuah sejarah. “Mwathirika” yang menjadi judul pementasan ini sendiri berarti “korban” (diambil dari Bahasa Swahili, suku di Afrika Timur).

Bicara soal drama dan korban, sore itu di depan Goethe Institute pun sempat terjadi drama kecil akibat demonstrasi dadakan FPI. Akibatnya ada beberapa calon penonton yang menjadi korban, terpaksa pulang dengan kecewa tanpa sempat menyaksikan pertunjukkan boneka luar biasa Mwathirika dari Papermoon Puppet.


Di masa kini, sejarah mungkin hilang. Tetapi peristiwa yang pernah melintasi suatu masa tidak pernah hilang. Ia mewujud pada apa saja. Menjelma menjadi apa saja …

Sundea

mengenai Mwathirika dapat di-klik di sini
mengenai Papermoon Puppet dapat di-klik di sini
*read Sundea's wonderful writings in HERE ;)

24 April 2011

trailer of MWATHIRIKA


the trailer of MWATHIRIKA
script and narration by Maria Tri Sulistyani
edited by Mamad Fesdi Anggoro
music by Yennu Ariendra

09 Maret 2011

MWATHIRIKA : in the eye of Jojo Raharjo...

(Jojo Raharjo is a lecturer, journalist, and a friend... he watched MWATHIRIKA, in Jakarta)



Belajar sejarah dari teater boneka

Posted on | January 19, 2011


Konferensi menyinggung Peristiwa 1965. Temanya dianggap sensitif.


Serangkaian acara yang digelar Goethe-Institut didemo kelompok sayap kanan. Di antara even yang ditentang itu terdapat pertunjukan teater boneka.
Selasa (18/1) kemarin, mendadak saya mengubah jadwal harian yang tertera di buku agenda. Rencana menghadiri rapat mingguan pengurus AJI Jakarta berganti dengan ajakan kencan: nonton “Papermoon Puppet Theatre” di GoetheHaus, kawasan Menteng. Yang terbayang tentu yang senang-senang: menyaksikan pertunjukan lucu, duduk berdua bersama pasangan, dan ketawa-ketiwi bertemu teman lama.

Tapi apa yang terjadi? Seperti diberitakan Tempo Interaktif, sejak siang hari, suhu pusat kebudayaan Jerman di Jakarta itu sudah memanas. Kelompok garis keras Islam menuntut pembubaran serangkaian acara konferensi “Indonesia & The World 1959-1969: a Critical Decade” yang diklaim sebagai propaganda komunisme. Teater boneka itu sendiri termasuk sebagai program pendukung konferensi, antara lain karena tema ceritanya menyinggung kehidupan tahanan politik dan suasana pasca Tragedi September 1965 di Indonesia.
“Mau ke mana?” tanya petugas di pelataran GotheHaus. Tak biasanya, saat ada even, pagar gedung justru ditutup dan dijaga ketat.
“Mau nonton Papermoon,” jawabku dari balik pagar.
“Punya undangan?” balasnya lagi.
“Ehmmm, anu Pak… yang punya Papermoon itu teman saya. Dan saya juga wartawan,” sahutku lagi. Maria Tri Sulistyani -nama facebooknya Ria Papermoon- lama bersahabat dengan isteri saya, Celi, sebagai sesama mahasiswi Fisipol UGM. Saat saya dan Celi menikah lima tahun silam, Ria menghadiahi kami ilustrasi nan unik untuk ditempel di buku ibadah perkawinan.
Memulai pekerjaan sebagai ilustrator dan penulis, Ria mendirikan Papermoon Puppet Theatre pada 2006 dan kini dibesarkan bersama suaminya, Iwan Effendi. Mereka telah menggelar pementasan dan workshop di Papua, Sumatera Barat, Singapura, Malaysia, Korea, sampai menjelajah kota-kota di negeri Abang Sam.
“Ah, di sini banyak yang mengaku teman. Kami hanya menjaga keamanan saja. Bisa lihat ID Pers dan KTP nya?” tanya Satpam itu lagi.
Busyet, nonton teater saja sampai segini rumitnya. Kukeluarkan kartu wartawan dan KTP keluaran Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat.
“O, dari Istana ya?” kata sang Satpam sambil membukakan pintu gerbang. Ia tak pernah tahu, kartu wartawan kepresidenan itu sudah kadaluwarsa hampir sebulan berselang.



 Spanduk-spanduk anti PKI. Di acaranya sendiri, sama sekali tak ada kata-kata komunis


Dari dalam teras Goethe, terlihat karton-karton yang dibawa pengunjuk rasa belum diturunkan. Sebagian berbunyi, “PKI Berlumur Darah”, “PKI Pembantai Umat Islam”, “PKI Anti Tuhan”, dan “Hancurkan Paham Komunisme”.
Dwidjo Utomo Maksum, wartawan Tempo yang juga berniat menyaksikan pertunjukan Papermoon berujar, para pendemo itu tak tahu apa yang sebenarnya mereka suarakan. “Sebagian menyatakan acara boleh berlangsung asal mereka diberi kesempatan bersuara. Sebagian lagi, kaum yang lebih muda, ngotot agar konferensi dan rangkaiannya batal sama sekali,” papar Dwidjo.
Berkali-kali suara pengunjukrasa mendiskreditkan Tempo. Dwidjo pun mengutarakan sebuah pertanyaan. “Kok kalian seperti antipati pada Tempo?” Mereka menjawab, “Bukan Tempo Majalah, tapi Tempo Institute.” Sang penanya tertawa dalam hati.
Selain Goethe, konferensi ini memang didukung Tempo Institute, Friedrich-Ebert-Stiftung, Serrum, ruang rupa, Pusdep Sanata Dharma, dan Histroia Online. Tempo Institute sendiri merupakan organisasi nirlaba, independen, yang didirikan sejak tahun 2003 dan bernaung di bawah payung organisasi Yayasan 21 Juni 1994. Bidang kegiatannya antara lain pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang penulisan, jurnalistik, desain, dan pengelolaan media. Dipimpin wartawan senior Majalah Tempo Mardiyah Chamim sebagai direktur, Tempo Institute menyumbang berbagai materi pameran, termasuk cerita dan komik sebagai bagian terbitan khusus Majalah Tempo mengenai tokoh-tokoh di seputar peristiwa 1965, seperti edisi D.N. Aidit, dan Sjam Kamaruzaman.
Usai dialog itu, semua agenda tetap berlangsung, meski pengamanan berlangsung amat ketat. Asisten Bagian Acara Budaya Goethe-Institut Dinyah Latuconsina menyatakan jadwal dan materi acara sama sekali tak berubah. “Selama demonya tidak anarkis, ya silahkan saja,” kata Dinyah.



Pameran seni meriahkan konferensi. Belajar dari masa lalu.


Ia memaparkan, konsep konferensi internasional yang menyangkut tahun 1965 ini sebenarnya bertujuan agar masyarakat Indonesia dapat mengelola masa lalu dengan lebih baik. “Di acaranya sendiri, sama sekali tak ada kata-kata komunis. Bahkan rentang waktu itu tak hanya bicara peristiwa 1965 di Indonesia. Di sini dipaparkan situasi di China, Soviet, Jerman, dan lain-lain, yang kemudian berdampak ke tanah air,” jelasnya.
Selain pentas boneka, rangkaian konferensi diisi dengan peluncuran buku Economists with Guns, pameran komik dan instalasi, teater tari, Kompetisi Esai: Menyembuhkan Luka Sejarah dan diskusi Indonesia dalam Permainan Kekuatan Perang Dingin.
Duh, sampai lupa cerita tentang pentas Papermoonnya sendiri. Pertunjukannya berlangsung sekitar sejam, mengambil judul “Mwathirika”, dengan melibatkan 13 personel manusia dan beberapa boneka. “Mwathirika itu dari bahasa Swahili, sebuah negeri di Afrika Timur, artinya korban, victim,” kata Iwan Effendi. Sengaja ia tak mengambil bahasa yang bisa dimengerti maknanya dengan mudah, karena tak ingin cerita di teater ini diasosiasikan dengan peristiwa tertentu.
Bicara tentang korban, pasangan pendiri Papermoon memang berlatarbelakang korban. Ria anak pensiunan Letnan Kolonel TNI AU, sementara Iwan cucu seorang dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun setelah peristiwa September 1965. Tak heran, jika beberapa adegan Mwathirika seperti menggambarkan kisah orang-orang yang berada di penjara dan juga pembuangan.
Cerita dimulai dengan dua bersaudara Moyo dan Tupu, kakak beradik yang dibesarkan oleh ayah mereka, Baba. Baba adalah pria pekerja keras bertangan satu. Mereka keluarga harmonis yang bertetangga dengan Haki, ayah dari seorang anak perempuan Lacuna yang selalu duduk di kursi roda. Mereka tetangga yang rukun meskipun tinggal “berseberangan”.



Setting “Mwathirika” sebelum pentas. Namanya teater bisa banyak asosiasi.


Kehidupan harmonis mereka mendadak mengalami perubahan drastis sejak terjadi konflik besar di antara para penguasa, kelompok yang sesungguhnya tidak mereka pahami benar. Perubahan itu terjadi hanya karena sebuah gambar segitiga di pintu rumah dan sebuah pluit kecil berwarna merah.
Tetap saja, memahami makna sebuah pentas teater itu tak mudah. Kecuali kita kagum pada keindahan dekorasi Papermoon, tata panggung, lighting, potongan-potongan film dan juga boneka yang lucu-lucu. Pentas teater selalu menawarkan persepsi yang beragam. Kalau mau yang seragam dan gampang ditelan, nonton saja film Indonesia, atau bahkan sinetron.
Tanpa membaca sinopsis cerita tadi, saya pun tak paham apa yang sebenarnya dipertunjukkan dalam Mwathirika. Ini tak ubahnya kalau Anda mencerna lima serial kartun dalam koran Kompas edisi Minggu. Kalau disuruh memilih mana yang paling susah dicerna di antara Panji Koming, Timun, Mice Cartoon, Sukribo, atau Konpopilan, pasti jawabannya yang terakhir. Maka, kalau Anda bisa memahami makna kisah lelaki penggembala dan polah-tingkah binatang dalam Konpopilan, saya jamin Anda bisa mengerti apa makna tersirat yang dipertontonkan sebuah teater macam Papermoon ini.
Toh demikian, entah mengerti atau hanya pura-pura mengerti cerita yang dimaksud, banyak penonton spontan melakukan “standing ovation” begitu pertunjukan selesai. Ada banyak nama terkenal duduk di antara 400 penonton. Ya wartawan, seniman, sejarawan, aktivis, dan juga bule-bule undangan. Mayoritas antusias melempar applausnya usai Ria menyampaikan kata penutup pementasan Mwathirika.
Saya pun beranjak pulang, dengan tetap tak mengerti, sebenarnya apa sih yang perlu ditentang dari rangkaian acara ini…


Jojo Raharjo



(you can find Jojo Raharjo.. HERE)









MWATHIRIKA : in the eye of aranti adriarani...

( aranti adriarani was one of the audience of MWATHIRIKA in Jakarta) 


Mwathirika, the amazing puppet show

Tanggal 18 Januari kemarin Papermoon Puppet Theatre yang jauh-jauh datang dari Jogja mengadakan pertunjukan untuk pertama kalinya di Jakarta. Karena teman saya Amanda Mita adalah salah satu pemainnya, maka saya, Mbak Dinda, dan Mas Fajar meluncur ke Goethe Haus. Wah sempat ada berita heboh di twitter, katanya ada demo FPI di depan Goethe. Lho kok bisa? Hmmm ternyata belakangan saya baru tahu kalau tema acara di sana mengangkat sejarah kelam masa-masa PKI. Tapi waktu saya sampai di sana dan melihat-lihat pamerannya, "

"Wah mana ya yang bikin kontroversial?"

Ternyata tidak ada kok. Ah ini mah si pendemo-pendemonya nggak ngerti isi acaranya yang sebenarnya nih.



Ini pertama kalinya saya menonton puppet show. Yang terbayang di otak saya adalah orang-orang berkostum boneka, atau memainkan boneka tanpa harus menampakan si "pemberi nyawa" nya. Masuk ke gedung pertunjukan, kami sudah dibikin senang duluan karena pertunjukan ini gratis! Ahey! Hehehehe. Melihat dekorasinya tidak terlalu muluk-muluk, tapi bentuk propertinya terlihat kompleks. Daan benar saja. Propertinya didesain bisa diputar, dibuka tutup dengan tuas ataupun katrol, dan ada bentuk bangunan dengan mata di atasnya yang bisa dibuka tutup. Kereen!

Pertunjukan ini adalah pertunjukan visual dengan media boneka. Sesekali boneka tersebut bersuara tetapi hanya untuk memanggil nama satu sama lain. Boneka tersebut dibuat "hidup" terkadang oleh 3 orang bersamaan, atau cukup 1 orang saja. Yang membuat saya takjub, sosok pemain boneka bisa "menghilang" sehingga yang penonton lihat hanya terfokus pada bonekanya. Bahasa tubuh di boneka benar-benar dibuat cantik sekali. Seakan-akan benar-benar hidup.


Cerita yang diangkat di sini bukan lantas tentang sejarah PKI. Simpel saja kok. Tentang seorang anak perempuan bernama Tupu yang tinggal bersama kakak laki-lakinya, Moyo dan ayahnya. Mereka hidup bertetangga dengan laki-laki dan anaknya yang duduk di kursi roda. Hidup mereka berubah dan mulai diliputi kecemasan ketika sebuah segitiga merah tercoreng di jendela ayah Moyo.

Emosi yang disajikan di sini benar-benar bisa dirasakan penonton. Jujur saja, kalau yang namanya menonton teater pasti ada titik bosannya, hanya beberapa detik sekalipun. Tapi ini tidak sama sekali! Saya benar-benar terhanyut dalam cerita. Emosi saya dipermainkan oleh pemain-pemain ini. Ah pasti berat sekali mereka latihan. Salut!

Selesai pertunjukan, saya sempat berfoto dengan boneka-boneka ini dan benar saja lho, saya merasa kalau mereka benar-benar "hidup" hehehhe. Dasar memang saya penakut juga. Dan saya akhirnya menemukan rahasia cara menggerakan boneka-boneka itu. Wah ternyata cara bermain boneka seperti ini diadaptasi dari Jepang lho.
Ini diselipkan di kaki pemain boneka, jadi sambil mereka duduk di bangku kayu beroda, mereka bisa leluasa memainkan kaki si boneka, memberikan kesan si boneka berjalan kaki

Mita dan Tupu
Bapak tetangga
Moyo


Salut buat Papermoon Puppet Theatre! Ayo manggung lagi! :)


Aranti adriarani can be found HERE


25 Januari 2011

mwathirika : di mata Insaf Albert Tarigan ...

Wednesday, January 19, 2011

Mwathirika: Membaca Ulang Peristiwa 30 September 1965

Pada suatu pagi yang indah dan cerah di bulan September 1965, Tupu, seorang gadis kecil bermain kuda-kudaan dengan ceria di depan rumahnya. Tak lama berselang, dari balik pintu rumah berdinding kayu itu, turun seorang bocah lelaki perlahan-lahan menuruni tangga rumah yang juga terbuat dari kayu, khas rumah pedesaan pada masa itu. Dialah Moyo, kakak Tupu, datang dengan menggenggam sebuah balon merah. Keduanya lantas asyik bermain, meloncat-loncat, berlarian, diam, lari lagi, diam lagi dan pada akhirnya juga rebutan mainan. Tupu merengek manja hingga memaksa Moyo mengalah dan memberikan balonnya. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, simbol komunikasi sendiri yaitu meniup pluit merah untuk memanggi satu sama lain.

Hari-hari kedua bocah ini penuh dengan kegembiraan, bertetangga baik dengan Haki yang memiliki putri bernama Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda hingga pada suatu malam muncul tanda segitiga merah di dinding jendela rumah Tupu dan Moyo. Oleh ayah mereka, Baba, yang bertangan satu, tanda itu sebenarnya coba dihapuskan namun upaya itu gagal. Siapa gerangan yang membuatnya?

Hari-hari berikutnya, kehidupan mereka mendadak berubah secara drastis. Suatu hari misalnya tiba-tiba segerombolan tentara bersenjata laras panjang mendatangi halaman rumah saat Baba sedang membetulkan kuda-kudaan Tupu yang rusak, dengan palu. Setelah melihat tanda segitiga, para serdadu berwajah sangar itu “mengambil” Baba. Mereka berdua sangat ketakutan dan tak mengerti mengapa sang Ayah tak pulang-pulang hingga malam dan keesokan hari. Baba juga tak berkata apa-apa saat dibawa tentara selain menyerahkan kuda-kudaan Tupu yang sudah selesai diperbaiki. Haki juga tak lagi tamah dan melarang Lacuna bermain bersama Tupu dan Moyo.

Begitulah adegan pembukan Cerita Kecil di Mwathirika, garapan terbaru Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre dalam rangka memeriahkan pameran Indonesia and the World in 1965 di GoetheHaus, Jakarta. Pameran ini berlangsung sejak 18-21 Januari dengan ditandai peluncuran buku, konferensi internasional dan pertunjukan tari. Acara berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh sekelompok orang yang mengaku penentang komunisme dan paham komunisme.

Mwathirika, seperti kata Maria dan Iwan, adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang disampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Mereka menggunakan boneka jenis bunraku dan kuruma ningyo dari Jepang sebagai tokoh dan menggunakan bahasa Swahili sebagai judul pementasan sekaligus nama-nama karakter.

Dunia Tupu dan Moyo mirip dengan kehidupan Scout Finch dan Jeremy Atticus “Jem” Finch, dua anak bersaudara dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang juga berlatarbelakang pedesaan dan fokus pada prasangka negatif terhadap ras kulit hitam di Amerika Serikat.

Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu dan Moyo kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.

Namun, di situlah letak kekuatan Mwathirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak, dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.

Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.

Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?


*catatan

Foto diambil dari http://papermoon-puppet.blogspot.com/



Insaf Albert Tarigan can be met in HERE

03 Januari 2011

Experiencing MWATHIRIKA: Where Puppetry Collides with Indonesia’s Dark History




by Astrid Reza

Watching puppets re-enact a violent past in the hands of their masters, the horror that suddenly stirred inside me was how real it could all feel. With a Neverland-esque setting and an Orwellian tone that awaken the monsters of our nightmares in the opening scenes, MWATHIRIKA recounts the darkest episode in Indonesia’s contemporary history. It tells of Indonesia’s ghost of the past, present and future. 

Using the Japanese style bunraku and kuruma ningyo puppets specifically designed for the play, this performance by Papermoon Puppet Theatre from Yogyakarta is meant for teen and adult audiences. MWATHIRIKA means “victim” in Swahili. The 1965 purge of every communist-related person by the Indonesian army had claimed millions, traumatizing the nation until today. The play reflects the younger generation’s different spirit in reinterpreting the nation’s history.

The storyline created by a daughter of former Lieutenant Colonel of Indonesian Air Force, Maria Tri Sulistyani, and a grandson of a dalang (wayang puppet-master) who was a political prisoner for 13 years, Iwan Effendi. ‎This collaborative work is part of their personal memory, dedicated to all the victims of “The Tragedy of 1965.”

It began with Moyo and his little brother Tupu, raised by their father, Baba, a hard workingman with only one hand. ‎​They are a happy family. Their neighbours are Haki and his daughter Lacuna, who is on a wheelchair. They live peacefully side-by-side until a situation larger than themselves made things go horribly wrong. A mark of a red triangle at Baba’s house and a small red whistle changes everything.
The performance sent chills down my spine over and over. The whistle shrills out Tupu’s unspeakable ache. He has now lost both his father and brother, taken away forever by the MWATHIRIKA army. He keeps on blowing the whistle in the darkness, wanting to be heard.‎​In one moment I felt suffocated and wanted to close my ears. The scene forced the audience to cry in silence.

‎There were barely any verbal exchanges in the performance, but the masks' expressions, the puppets' dynamic movements, the expressive music and the animated background said it all the way we have always understood it. Puppetry does speak the universal language of losing when our innocence, loved ones, humanity, words and history slipped away.

‎​The performance borrows the perspective of a child experiencing one of the country's greatest tragedies, and that scared me.‎​ A child's simple honesty can easily touch our hearts. When they get hurt or violated, we can find ourselves there: our small and vulnerable beings. Every time violence knocks on the door of a childhood, the wound stays, often ruining everything that grows.I realized something grave after watching MWATHIRIKA. We, the violated, have the potential to turn into the source of violence and destruction. The cycle of human ruthlessness is terrifying.‎​This story represents every human tragedy of our civilization.

The Papermoon Puppet Theatre delivered all these horrifying memories with originality. Every piece was done with remarkable attention to details, metaphors, and symbols, creating a nearly perfect composition. It’s one of the best shows I have seen in my eight years living in Yogyakarta. One obvious fact at the end of the play makes it felt very humane. It shows the flaw of our lives as a part of history – a nation’s history – creating a better understanding in what makes us human.

MWATHIRIKA is a puppet theatre performance by Papermoon Puppet Theatre, which ran their play on 1st – 3rd December at LIP (Lembaga Indonesia Perancis), Yogyakarta, Indonesia.
Papermoon Puppet Theatre founded in 2006, based in Yogyakarta, they could be contacted via email: papermoon_child@yahoo.com and their blog: http://www.papermoon-puppet.blogspot.com