(elga is a university students... on the way to finish her degree.. ;) thank you, dear elga!!! )
Mwathirika: Rasa itu bernama “Kehilangan”
Kadang, kita tidak berhak memilih hidup seperti apa yang kita inginkan.Kita tercebur begitu saja dan menerima segala macam situasi beserta setiap konsekuensi hanya dengan…menjadi kita..- perasaan setelah menonton Mwathirika-
Dalam bahasa Swahili (nama suku di Afrika Timur), Mwathirika berarti “KORBAN”. Inilah cerita tentang sebuah kota antah-berantah bernama Mwathirika dengan seluruh penduduk yang menjadi korban. Sebuah cerita tentang sebuah sejarah abu-abu dengan pekatnya makna kehilangan. Setiap nama tokoh yang diceritakan memiliki arti sendiri dan mereka tidak memiliki kondisi sempurna yang membuatnya utuh sebagai “seorang” manusia.
Meski saya pernah membaca naskahnya dan memahami alur awalnya, lebih baik kali ini saya simpan sendiri. Saya akan mencoba bercerita dari sudut pandang penonton, sama seperti lainnya. Penonton yang terbahak di awal cerita hanya untuk kemudian tercekam rasa pilu yang biru.
Tentang Cerita:
Adalah seorang anak kecil yang iseng ceria bernama Tupu (Swahili for ‘empty’) yang sehari-harinya menikmati masa kanak-kanaknya tanpa beban. Main kuda-kudaan, lari-lari atau hanya iseng main tidak jelas. Dia punya seorang kakak laki-laki yang terpaut sedikit lebih tua bernama Moyo (Swahili for ‘heart’). Sang kakak ibarat superman bagi Tupu yang berbadan mungil. Mereka mengalungkan sebuah peluit merah di leher mereka masing-masing sebagai alat komunikasi rahasia. Dimanapun Tupu berada atau dalam bahaya, bunyikan peluit itu dan Moyo akan datang secepat ia bisa. Waktu Tupu diganggu oleh seekor hewan buas sampai gemetar tidak bisa bergerak, ia membunyikan peluit merah itu keras-keras dan Moyo datang seperti jagoan. Moyo meraih Tupu dan terpaksa melempar kuda-kudaan kesayangan Tupu agar hewan pengganggu itu pergi.
Tupu yang ketakutan bersembunyi gemetar di balik ketiak kakaknya. Moyo menepuk-nepuk kepala sang adik berusaha menghiburnya. Ia mencoba melihat keadaan apakah sang hewan sudah pergi. Namun saat mengambil mainan itu, ternyata rodanya sudah rusak. Tupu sedih sebab mainan kesukaannya itu rusak, tapi ia tidak menyalahkan kakak yang sudah menolongnya. Hanya sedih sebab ia tidak bisa main lagi. Untunglah datang Baba (Swahili for ‘father’), ayah mereka yang membawakan sebuah balon merah khusus untuknya. Tupu mengadu pada Baba dan bercerita dengan semangat bahwa Moyo sangat juara melindunginya. Baba menatap anak sulungnya dengan bangga, sang kakak sudah menjalankan tugas menjaga adiknya.
Saat Tupu asyik bermain balon, seorang paman tetangga lewat dan menyapanya. Ia adalah Haki (Swahili for ‘right’) ayah Lacuna, gadis kecil berkursi roda yang tinggal di seberang rumahnya. Tupu pamer balon merahnya. Haki tersenyum sambil menepuk kepalanya. Ia mengetuk jendela rumah dan memanggil nama putrinya. Ia membawakan sebuah kotak musik untuk putri tunggal kesayangannya itu. Lacuna keluar menyapa lewat jendela lalu keluar sambil memutar roda kursinya. Ia menyukai kotak musik pemberian ayahnya. Tupu ingin melihat kotak musik itu dari dekat tapi Lacuna tidak memberikannya. Kotak musik itu hadiah ayah, karena itu tidak boleh sembarang dipegang orang lain.
Kemudian entah mengapa dan bagaimana…ada peristiwa yang datang bagai badai. Mereka tidak sadar sedang kedatangan bayangan yang gelap. Tiba-tiba rombongan orang bersenjata lalu-lalang. Orang-orang mulai hilang tanpa ada yang tahu kemana.
Saat ingin membetulkan kuda-kudaan Tupu anaknya, Baba melihat ada coretan berwarna merah di daun jendela rumahnya. Kesal, ia coba menghapusnya. Mengira ada gerombolan orang iseng menyebalkan sengaja mencorat-coret. Namun Haki tahu sesuatu terjadi dan mendadak bungkam saat Baba menyapa.
Tak lama datanglah dua orang bersenjata bertanya siapakah pemilik rumah dengan daun jendela dicoret merah itu. Haki sejenak ragu menjawab, dengan takut diarahkannya telunjuk pada Baba yang sedang asyik membetulkan mainan. Kedua orang bersenjata lalu mengajaknya pergi dengan sopan. Tanpa menaruh curiga Baba mengiyakan dan langsung beranjak.
Tapi saat akan pergi bersama mereka, terdengar riuh anak-anaknya dari kejauhan. Baba ijin sebentar pada penjemputnya untuk berpamitan dengan anak-anaknya. Cepat diselesaikannya kuda-kudaan itu dan diberikannya pada Tupu yang langsung girang bukan kepalang. Tapi Moyo diam…ia merasa…aneh. Bergantian dipandangnya kedua orang bersenjata itu dengan takut-takut namun mereka memang menakutkan. Moyo tidak ingin Baba pergi. Saat Baba memeluknya, Moyo hanya merasa…hampa.
Entah sudah berapa lama Baba pergi, entah mengapa juga Baba belum kembali. Tupu mulai merengek lapar sebab di rumah tak lagi tersedia makanan. Moyo, meski sedih harus memutar akal bagaimana caranya agar adiknya dan ia tak lapar. Berdua mereka mengaduk rawa, menyusuri batu kali dan merogoh-rogoh lubang hingga menemukan kodok. Siapa tahu bisa dimakan, pikir mereka.
Tupu tidak suka makanannya. Bau dan tidak enak!! Berkali-kali Moyo membujuknya, Tupu tidak mau. Ia masih kecil…ingin makan yang enak…ingin Baba pulang. Moyo mencoba mencari kabar dengan membawa foto Baba dan menunjukkan pada orang-orang bersenjata yang sering lewat dekat rumahnya akhir-akhir ini. Akhirnya, seorang bersenjata merasa mengenali wajah di foto itu. Tertegun ia melihat peluit merah tergantung di leher Moyo. Memanggil temannya, mendadak mereka menyeret tangan Moyo dan membawanya pergi.
Tupu sendirian…
Ia kesepian dan bingung mengapa kali ini Moyo juga tidak kembali? Ia mencoba meniup peluitnya berkali-kali. Sampai lirih…tapi Moyo tidak datang secepat biasanya. Moyo tidak datang.
Lacuna mendengar bunyi peluit yang makin lirih lalu memutar roda kursinya mendekati Tupu. Ia meminjamkan kotak musik kesayangannya agar Tupu gembira lagi. Tidak berhasil. Tupu tidak mau. Tupu hanya ingin Baba pulang, hanya mau Moyo datang. Haki melihat mereka berdua dan dengan kasar menyuruh Lacuna pulang. Ia hanya memandang kosong ke arah Tupu yang terisak sendiri. Di tangannya ada sebuah celurit menetes merah yang terlihat gemetar dan tak mantap digenggam.
Tupu mulai putus asa. Tenggorokannya sudah sakit. Ia tak mengerti mengapa paman, bibi, kakek tetangga yang biasanya ramah menyapa sekarang bahkan tak berani melihatnya. Mereka memandang dengan iba namun tak berani bertanya. Tak ada yang mendekati Tupu sekedar menanyakan keadaannya, apakah anak kecil itu baik-baik saja? mengapa menangis?
Tupu tak bisa bertanya pada siapa-siapa. Tak ada yang menjawab pertanyaannya: Ke mana Baba? adakah yang melihat Moyo? Hingga Tupu hanya bisa memeluk diri sendiri sambil terisak makin keras dan lemah karena peluitnya makin lirih berbunyi. Lacuna melihat Tupu dari seberang rumah dan meletakkan kotak musik kesayangannya di sisi Tupu. Ia memberikannya, semoga Tupu tak lagi menangis.
Di hari lain, Lacuna menoleh takut-takut adakah yang melihatnya mendekat ke rumah Tupu. Ia mencoba memanggil-manggil Tupu tapi tak ada jawaban. Rumah itu kosong. Aneh. Ia lalu melihat sekeliling dan melihat gundukan bulu coklat tergeletak di tanah. Itu adalah topi hewan kesayangan Tupu. Tupu tak pernah lupa memakai topi berkuping merah muda itu. Lacuna memungutnya sambil memanggil nama Tupu. Tak sengaja ia melihat peluit merah tergeletak di dekat tempat topi itu. Ia meraihnya dan mencoba meniupnya. Sekali…dua kali..lama-lama makin keras hingga ia tak menyadari derap kaki tegap yang mendekat.
……………………………………………
Kursi roda Lacuna kosong dan terbalik di dekat topi Tupu. Rodanya masih berputar perlahan tanpa pemilik di atas dudukannya…
Tentang Pementasan:
Ini adalah cerita tentang sebuah pertunjukan teater boneka yang dipentaskan oleh Papermoon Puppet TheatreMwathirika“. Pertunjukan yang memakan waktu proses berbulan-bulan ini diprakarsai oleh seorang sutradara perempuan bernama Maria Tri Sulistyani – peraih hibah Empowering Women Artist 2010-2011 dari Kelola – berkolaborasi dengan Iwan Effendi seorang perupa sekaligus direktur artistik pertunjukan ini (dan suami sang sutradara tentunya ^^) di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta tanggal 1-3 Desember 2010 berjudul “
Tentang Dibalik Cerita:
Saya tak sadar sudah mengalirkan tetesan hangat di mata saat peluit yang ditiup Tupu makin lirih. Tenggorokan anak sekecil itu pasti sangat sakit karena sudah mencoba meniup peluit sekuat tenaga begitu lama. Rasa tercekat di tenggorokan yang terasa pekat karena menyadari bahwa anak itu tak mungkin lagi bertemu dengan Baba yang ia sayangi dan kakak yang ia kagumi. Mereka sudah diambil dari sisinya dan bahkan tidak menjelaskan mengapa.
Cerita Mwathirika ini memiliki potongan pengalaman personal akan sebuah cerita kehilangan di sebuah masa sejarah abu-abu. Masa dimana orang kehilangan pegangan dan tak lagi tegas memisahkan mana hitam dan putih. Sejarah yang enggan diceritakan.
Bagi sebagian orang yang berada pada masa itu dan sebagian yang mengalami secara langsung, hingga saat inipun kadang masih merasa trauma bahkan ada yang takut menyebut secara terang-terangan.
Dan saya, yang hidup di masa sekarang, hanya bisa mengetahui peristiwa itu melalui buku sejarah dengan cerita setengah-setengah yang sudah diedit berbagai versi. Saya tak memahami benar apa makna kehilangan yang dirasakan orang tua atau kakek-nenek saya di masa itu. Yang saya ingat hanyalah potongan film sadis yang membuat saya trauma dan takut saat malam tiba. Tak ada alasan jelas mengapa saat itu orang-orang diambil dari keluarga mereka, bahkan oleh saudara sendiri. Padahal terkadang ada yang tak tahu apa duduk persoalannya, atau bahkan ada yang hanya pernah sekali menjadi pengisi acara. Selebihnya mereka tidak tahu mengapa.
Hanya bermodal cerita dari sana-sini, saya akhirnya mengetahui betapa pasca September ’65 itu adalah masa yang sangat kacau. Jika tak membunuh maka orang akan dibunuh. Tak ada lagi tempat bagi sebuah rasa bernama kemanusiaan. Setiap orang hanya bisa mengusahakan selamat dan aman. Yang kehilangan nyawa adalah korban, yang menghilangkan nyawa juga korban. Mereka tak bisa menentang keadaan yang mengharuskan mereka mengambil nyawa orang yang mereka kenal.
Dengan medium boneka yang kurang ekspresif dibanding manusia, mungkin cerita ini bisa disampaikan lebih mengena, meski tak persis maknanya. Sebab terkadang, kita mudah merasa curiga dengan beratnya cerita yang dibawakan oleh manusia. Lebih mudah membiarkan pikiran dibawa dalam suatu imaji khayal yang dibawakan boneka tanpa kata. Cerita yang penuh simbol dan makna hingga kita berhak menafsirkan sendiri dengan pemahaman yang ada.
Maka pada akhirnya MWATHIRIKA hanya ingin menyampaikan, bahwa semua adalah korban sia-sia ketika sebuah kekuasaan terlalu besar. Akhirnya hanya mengantar kita pada situasi yang memerangkap kita semua yang hidup di sekitarnya. Mungkin kita sebenarnya adalah boneka wayang dengan dalang entah-siapa-di-sana yang mengendalikan kekuasaan. Mungkin si dalang sedang tertawa menikmati kacaunya keadaan. Kekuasaan, siapapun pemiliknya, akan berusaha mengalahkan lawannya hingga yang tak ada satupun yang tersisa.
Hingga akhirnya tak satupun yang berdiri sebagai pemenang tanpa menjadi korban dengan satu rasa besar yang bernama:
KEHILANGAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar