06 Desember 2010

the media review about MWATHIRIKA


some of the newspapers...

kompas nasional, 5 desember 2010

radar Jogja, 5 desember 2010

bernas jogja, 3 desember 2010

harian jogja, 2 desember 2010

kedaulatan rakyat, 2 desember 2010

koran tempo, 2 desember 2010

koran merapi, 2 desember 2010


e-news :

http://jogjanews.com/2010/12/02/pentas-teater-boneka-papermoon-mwathirika-saat-boneka-seperti-berubah-manusia/

Pentas Teater Boneka Papermoon “Mwathirika”, Saat Boneka Seperti Berubah Manusia

Desember 2nd, 2010 | 15:55
Adegan ketika Baba (ayah Moyo dan Tupu) berpamitan kepada Moyo dan Tupu. Sementara dua petugas keamanan menunggu Baba berpamitan. Inilah salah satu adegan dalam pementasan teater boneka Papermoon dalam judul "Mwathirika" di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Selasa (30/11).
Kisah G30S/PKI sudah dihadirkan dalam film. Juga telah diterbitkan dalam bentuk buku. Bagaimana jika kisah tersebut ditampilkan dalam pementasan teater boneka?
Itulah yang dilakukan Teater Boneka Papermoon pada empat hari berurutan, Selasa (30/11) hingga Jum’at (3/12) di auditorium Lembaga Indonesia Perancis (LIP).
Kisah sejarah bangsa mengenai tragedi paska September 1965 (kisah G30S/PKI) yang dianggap kelam ini, dipentaskan dengan memukau oleh Teater Boneka Papermoon.
Penonton seperti tidak sedang menyaksikan pementasan teater boneka.  Boneka-boneka itu seperti hidup layaknya manusia yang sedang pentas teater.
Gerakan-gerakan boneka memang dilakukan para pemain dari Papermoon, namun kesan boneka itu seperti hidup sendiri begitu kuat hadir dalam pementasan ini. Boneka itu seperti bisa bernafas, bisa marah, bisa bergembira atau ekspresi-ekspresi lainnya.
“Lebih ke rasa, tujuannya ke emosi,” ujar Maria Tri Sulistyani, art director Teater Boneka Papermoon mengenai pementasan Mwathirika. Permainan perasaan ini hadir melalui kombinasi cerita, artistik pementasan, permainan boneka.
Cerita tentang G30S/PKI dipilih karena cerita ini begitu menyentuh sisi psikologis penonton mengingat cerita G30S/PKI adalah sejarah abu-abu bangsa Indonesia yang menghadirkan cerita tentang manusia yang dihilangkan sekaligus menghilangkan.
Tentang hal ini, Ria mengatakan sejarah memang harus diceritakan terus menerus, sekaligus sejarah ini mengulik emosi penonton  lebih dalam. Dengan dipentaskan menggunakan boneka diharapkan efeknya lebih banyak.
Judul pementasan teater boneka Papermoon, Mwathirika juga dibuat untuk mewakili cerita tentang sejarah abu-abu bangsa Indonesia itu. Mwathirika itu adalah sebuah kata yang berasal dari suku Swahili di Afrika Utara yang berarti korban.
Sisi artistik pementasan juga sangat mendukung pementasan Mwathirika. Layar lebar tipis yang digunakan sebagai salah satu properti pentas juga digunakan sebagai bagian dari pementasan. Melalui lampu sorot dari sebuah proyektor yang diproyeksikan himpunan garis membentuk angka.
Angka-angka itu adalah jumlah orang-orang yang hilang ditangkap pihak keamanan karena dianggap terlibat dalam G30S/PKI. “Angka-angka itu menjelaskan sejarah tentang rasa, perasaan seperti apa rasa kehilangan dan rasa menghilangkan,” kata Iwan Effendi, artistic designer pementasan Mwathirika.
Pentas Mwathirika menggunakan tujuh boneka dan 11 topeng. Boneka-boneka yang digunakan ini berasal dari Jepang bernama Bunroku dan Kuruma Ningyo. Ria mengatakan boneka Bunroku dan Kuruma Ningyo memiliki karakter intim yang kuat yang sangat mendukung pementasan Mwathirika yang sangat membutuhkan boneka-boneka yang menghadirkan suatu karakter yang kuat. (lihat: http://jogjanews.com/2010/11/27/rabu-jumat-teater-boneka-papermoon-akan-pentaskan-mwathirika/)
“Gerakan itu hal yang utama, banyak ngomong kadang tidak membawa hasil tapi dengan gerakan dapat menyimpulkan sesuatu yang banyak,” ujar Ria.
Boneka-boneka itu memainkan adegan-adegan yang benar-benar terjadi yang dialami orang-orang yang hidup pada tahun 1965 saat sedang ramai tentang gerakan PKI. Misalnya adegan saat Tupu mencari katak untuk memberi makan adiknya (Moyo).
“Papermoon mengambil potong-potongan cerita kejadian nyata dan dikemas dalam kesatuan cerita,” kata Ria. Ria menerangkan proses pementasan Mwathirika sudah dimulai sejak satu tahun yang lalu. Salah satunya dengan melakukan komunikasi dengan orang-orang yang hidup pada jaman PKI.
“Kita tanya orang-orang terdekat yang mengalami sejarah (jaman PKI). Teman-teman nanya eyang, bapak ibu, tetangga dan tentu saja dari buku sejarah,” terang Ria.
Mwathirika
Cerita Mwathirika berkisah tentang Moyo dan Tupu, kakak beradik yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, pria pekerja keras yang hanya memiliki satu tangan. Mereka adalah keluarga harmonis yang bertetangga dengan Haki yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna yang selalu duduk di kursi roda. Mereka adalah tetangga baik.
Hidup bertetangga mereka yang baik-baik saja mendadak mengalami perubahan besar semenjak terjadi konflik besar di tataran penguasa, lapisan yang tak pernah mereka pahami. Perubahan itu terjadi hanya gara-gara sebuah gambar segitiga di pintu rumah dan sebuah peluit kecil berwarna merah.
Tentang pementasan Mwathirika ini, Ria mengatakan, pementasan ini bukan tentang siapa yang membunuh siapa, tentang sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) dalam hidup kita. “Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa  lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang?” sebut Ria dalam katalog pementasan.(Jogjanews.com/joe)
Category : HEADLINE, teater
Tags : , , , , , , , ,

3 komentar:

  1. coba ada video hasil pementasannya yaaa.. pasti kereeeennn dan aku kpingin nuontoonn :D

    BalasHapus
  2. halo hola mas erri!!
    wah kalo cuma nonton videonya nggak bakalan afdol!! harus nonton LIVE PERFORMANCE-nyaa!! :D
    18 januari kami bakal pentas di GOethe-Jakarta!!! nonton yaaa!! :D

    BalasHapus
  3. wah klewat euy... kalo main di bandung dong aku hadir lah! :) ditunggu promonya di errithethird[at]gmail[dot]com

    BalasHapus