(mira asriningtyas is a fashion blogger, thepicnicgirl , who wrote MWATHIRIKA in a very sweet and deep way... thank you, mbak mira...)
Mwathirika: Ketika Merah adalah Salah |
Mwathirika adalah sebuah pertunjukan boneka yang minim kata-kata dan menyentuh melalui visual semata. Semacam mengintip secuil kehidupan orang lain dari kejauhan: menangkap kesan yang begitu dalam, sementara pesannya dikembalikan kepada referensi penonton begitu saja. Papermoon Puppet Theatre membawakan kisah ini pada tanggal 1-3 Desember lalu di LIP dengan manis sekaligus getir.
*****
Dibuka dengan gambaran kelam dan menegangkan melalui boneka raksasa bermata satu, video singkat, dan ramai-ramai orang berbendera~ memberikan kesan bahwa kisah ini akan mengangkat teror masal yang kini telah menjadi sejarah yang terpinggirkan.
Berikutnya, kepolosan dan keceriaan Tupu menghadirkan keajaiban kecil dalam dunia yang sama sekaligus terasa jauh dari kekacauan yang dihadirkan di awal cerita.
Keseharian kanak-kanak yang ceria dan permainan-permainannya serasa dongeng yang menjadi nyata. Konflik yang dialaminya pun sebatas diganggu anjing iseng yang membuat Moyo, kakaknya menjadi sosok yang begitu heroik dan melindungi. Pun ketika ayah mereka yang penyayang, Baba, pulang membawakan oleh-oleh balon merah untuk menghibur Tupu yang sedang ngambek. Kehangatan dan kebahagiaan adalah hal yang sehari-hari.
Hubungan mereka dengan tetangganya, Haki, dan putrinya, Lacuna pun membuat kebahagiaan sederhana di lingkungan ini terlihat ideal. Ideal sebagaimana adanya, begitu saja. Hiburan anak keliling kompleks, kotak musik yang membuat ingin, permainan sederhana, dan kasih sayang yang begitu adanya.
Bagi saya, kedamaian yang mengambang di udara ini justru terasa begitu menyayat. Kebahagiaan yang wajar namun dinaungi dengan teror yang memungkinkan semua itu terenggut begitu saja.
Semuanya berjalan begitu cepat.
Seorang asing menorehkan segitiga merah ke daun jendela keluarga kecil itu dan segalanya berubah. Tetangga yang ketakutan, sosok ayah yang dibawa pergi begitu saja, meninggalkan ruang kosong yang menganga dengan dua kakak beradik kecil yang harus mampu bertahan di dalamnya.
Semuanya berjalan begitu cepat dan tidak adil.
Ketika Moyo sang kakak mulai tidak sabar menanti kepulangan ayah dan menuntut orang-orang yang membawa pergi ayahnya, dia pun ditangkap karena memiliki peluit merah. Peluit merah yang juga dimiliki oleh adiknya, Tupu, untuk ditiup ketika sepi, takut, dan membutuhkan kehadiran salah satunya.
Ya, seperti saat Tupu kecil diganggu anjing iseng lalu meniupkan peluit merah itu untuk memanggil kakaknya. Sesederhana itu. Namun pada saat penuh teror di dalam sejarah yang terpinggirkan ini, segala yang merah adalah salah dan peluit itu berwarna merah.
Tupu yang sebatang kara adalah anak yang tercoreng noda merah yang tidak seharusnya. Tidak ada orang dewasa yang berani menolongnya, anak-anak dilarang mendekatinya, dan sepi itu tidak mudah dimengerti olehnya.
Takut adalah perasaan yang begitu gelap. Takut membuat orang mengabaikan kemanusiaannya. Sedihnya, takut kepada seorang anak polos adalah hal yang sewajarnya: tidak ada yang mau terciprat noda merah yang tak sengaja ditanggung Tupu.
Kepedihan masih mengambang dengan suara sayup-sayup peluit Tupu serta denting manis kotak musik Lacuna. Gaungnya seperti mengingatkan kita untuk tidak segera melupakan mereka. Sayangnya kita adalah bangsa yang begitu mudah lupa dan ketidakadilan pun mampu terulang. Korbannya? Mwathirika-nya terkadang adalah mereka yang polos, berjarak, dan tidak mengerti.
*****
Selain kuat dalam menyampaikan kisah melalui kesan, pentas ini didukung dengan video work yang tepat, musik yang mengena, serta setting dan properti yang indah sekaligus naratif. Pemain-pemainnya bagaikan memberikan nyawa bagi seluruh boneka baik yang bergerak maupun yang diam. Panggung itu hidup dan bercerita, begitu saja.
Sekilas pentas ini mengingaktan saya pada buku The Boy in Striped Pyjamas yang polos dan hubungan pedih kakak beradik dalam film Graveyard of the Fireflies. Diwarnai dengan berbagai simbol, pentas ini menyisakan ingatan pedih yang menyesakkan serta gaung suara peluit yang sepi. Gaung itu menyisakan sebuah pertanyaan yang mengganggu saya: bagaimana sesungguhnya bunyi peluit itu di dunia nyata?
*****
*Photographed by Dito Yuwono ( http://dreamiy.multiply.com/photos/album/19/The_Grey_History_of_Mwarithika )
*Further reading: The Indonesian Killing 1965-1966 (Robert Cribb)
*****
Dibuka dengan gambaran kelam dan menegangkan melalui boneka raksasa bermata satu, video singkat, dan ramai-ramai orang berbendera~ memberikan kesan bahwa kisah ini akan mengangkat teror masal yang kini telah menjadi sejarah yang terpinggirkan.
Berikutnya, kepolosan dan keceriaan Tupu menghadirkan keajaiban kecil dalam dunia yang sama sekaligus terasa jauh dari kekacauan yang dihadirkan di awal cerita.
Keseharian kanak-kanak yang ceria dan permainan-permainannya serasa dongeng yang menjadi nyata. Konflik yang dialaminya pun sebatas diganggu anjing iseng yang membuat Moyo, kakaknya menjadi sosok yang begitu heroik dan melindungi. Pun ketika ayah mereka yang penyayang, Baba, pulang membawakan oleh-oleh balon merah untuk menghibur Tupu yang sedang ngambek. Kehangatan dan kebahagiaan adalah hal yang sehari-hari.
Hubungan mereka dengan tetangganya, Haki, dan putrinya, Lacuna pun membuat kebahagiaan sederhana di lingkungan ini terlihat ideal. Ideal sebagaimana adanya, begitu saja. Hiburan anak keliling kompleks, kotak musik yang membuat ingin, permainan sederhana, dan kasih sayang yang begitu adanya.
Bagi saya, kedamaian yang mengambang di udara ini justru terasa begitu menyayat. Kebahagiaan yang wajar namun dinaungi dengan teror yang memungkinkan semua itu terenggut begitu saja.
Semuanya berjalan begitu cepat.
Seorang asing menorehkan segitiga merah ke daun jendela keluarga kecil itu dan segalanya berubah. Tetangga yang ketakutan, sosok ayah yang dibawa pergi begitu saja, meninggalkan ruang kosong yang menganga dengan dua kakak beradik kecil yang harus mampu bertahan di dalamnya.
Semuanya berjalan begitu cepat dan tidak adil.
Ketika Moyo sang kakak mulai tidak sabar menanti kepulangan ayah dan menuntut orang-orang yang membawa pergi ayahnya, dia pun ditangkap karena memiliki peluit merah. Peluit merah yang juga dimiliki oleh adiknya, Tupu, untuk ditiup ketika sepi, takut, dan membutuhkan kehadiran salah satunya.
Ya, seperti saat Tupu kecil diganggu anjing iseng lalu meniupkan peluit merah itu untuk memanggil kakaknya. Sesederhana itu. Namun pada saat penuh teror di dalam sejarah yang terpinggirkan ini, segala yang merah adalah salah dan peluit itu berwarna merah.
Tupu yang sebatang kara adalah anak yang tercoreng noda merah yang tidak seharusnya. Tidak ada orang dewasa yang berani menolongnya, anak-anak dilarang mendekatinya, dan sepi itu tidak mudah dimengerti olehnya.
Takut adalah perasaan yang begitu gelap. Takut membuat orang mengabaikan kemanusiaannya. Sedihnya, takut kepada seorang anak polos adalah hal yang sewajarnya: tidak ada yang mau terciprat noda merah yang tak sengaja ditanggung Tupu.
Kepedihan masih mengambang dengan suara sayup-sayup peluit Tupu serta denting manis kotak musik Lacuna. Gaungnya seperti mengingatkan kita untuk tidak segera melupakan mereka. Sayangnya kita adalah bangsa yang begitu mudah lupa dan ketidakadilan pun mampu terulang. Korbannya? Mwathirika-nya terkadang adalah mereka yang polos, berjarak, dan tidak mengerti.
*****
Selain kuat dalam menyampaikan kisah melalui kesan, pentas ini didukung dengan video work yang tepat, musik yang mengena, serta setting dan properti yang indah sekaligus naratif. Pemain-pemainnya bagaikan memberikan nyawa bagi seluruh boneka baik yang bergerak maupun yang diam. Panggung itu hidup dan bercerita, begitu saja.
Sekilas pentas ini mengingaktan saya pada buku The Boy in Striped Pyjamas yang polos dan hubungan pedih kakak beradik dalam film Graveyard of the Fireflies. Diwarnai dengan berbagai simbol, pentas ini menyisakan ingatan pedih yang menyesakkan serta gaung suara peluit yang sepi. Gaung itu menyisakan sebuah pertanyaan yang mengganggu saya: bagaimana sesungguhnya bunyi peluit itu di dunia nyata?
*****
*Photographed by Dito Yuwono ( http://dreamiy.multiply.com/photos/album/19/The_Grey_History_of_Mwarithika )
*Further reading: The Indonesian Killing 1965-1966 (Robert Cribb)
more writings of Mira is HERE !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar