a lovely writing from a fiend about MWATHIRIKA... thank you, mbak indie...
Mwathirika: Ketika Teater Boneka Membuat Menangis
Tadinya kupikir Baba, seorang bapak bertangan satu yang mukanya penuh kerutan, itu salah satu tokoh antagonis. Tapi begitu melihatnya berinteraksi dengan anak-anaknya, Tupu dan Moyo, ia langsung tampak sangat lembut.
Bagaimana ia menyapa anak-anaknya, bercanda dengan mereka, dan menyayangi mereka. Ketika Tupu merajuk karena kuda-kudaannya rusak, Baba menggantinya dengan sebuah balon merah yang ia bawa.
Sederhana, tapi entah mengapa begitu menyentuh.
Mungkin karena aku tahu, ada sesuatu yang akan terjadi di sana, yang tampak bahagia justru mengundang perasaan sedih. Itu pula yang kusangka saat pertama kali membuka-buka bukletnya. Tersirat perasaan kelam di sana.
"Masa sih?" tanya Indra yang sudah menonton latihannya berulang-ulang.
Hm. Aku tahu dia berpura-pura tenang dan menyembunyikan sesuatu.
Memang, mungkin aku yang salah melihatnya. Tapi aku tahu, akan ada sesuatu yang menyedihkan di sana. Begitu juga Mira yang ketika aku bertemu di akhir acara bercerita bahwa dia sudah sedih sejak awal acara.
Pertunjukan malam tadi benar-benar luar biasa. Papermoon Puppet Theatre yang dirintis oleh Mbak Ria dan Mas Iwan berhasil membawaku masuk ke dalam ceritanya. Dan ikut terhanyut dalam kisahnya yang unbelievably sad!
Kisah bagaimana kehidupan keluarga Baba yang harmonis dan lugu harus menjadi porak-poranda hanya karena segitiga merah yang digambar di salah satu jendelanya. Hubungannya dengan keluarga Haki dan Lacuna, anak perempuannya yang selalu duduk di kursi roda, juga menjadi hancur.
Bagaimana keluarga tersebut tercerai-berai akibat kepentingan penguasa.
Terakhir, Tupu yang masih kecil tampak begitu kesepian, sendiri, dan lemah. Sebelum akhirnya kisah ditutup dengan akhir yang lebih tragis lagi. Argh!
"So depressing," ujar Mira di akhir acara sambil mengusap-usap matanya.
Iya, dia menangis di sepanjang film (edit: pertunjukan, maksudku!). Begitu juga Mbak-Mbak Baju Lorek yang duduk di depanku. Berkali-kali dia menghapus air matanya dengan tisu. Hera matanya tampak sembab, walau mengakunya malam itu ia tidak menangis.
Aku sendiri nyaris menangis. Kerongkonganku sudah mulai tercekat. Mungkin kalau aku menontonnya sendirian, di kamar, seperti ketika aku menonton PS: I Love You, aku juga akan menangis sesenggukan.
Tapi, secara keseluruhan, pertunjukan semalam patut diacungi dua jempol! Pantas saja, di penghujung acara, penonton memberikan tepuk tangan yang cukup panjang untuk pertunjukan malam itu.
Sekali lagi, luar biasa! *plok-plok-plok-plok-plok...*
Bagaimana ia menyapa anak-anaknya, bercanda dengan mereka, dan menyayangi mereka. Ketika Tupu merajuk karena kuda-kudaannya rusak, Baba menggantinya dengan sebuah balon merah yang ia bawa.
Sederhana, tapi entah mengapa begitu menyentuh.
Mungkin karena aku tahu, ada sesuatu yang akan terjadi di sana, yang tampak bahagia justru mengundang perasaan sedih. Itu pula yang kusangka saat pertama kali membuka-buka bukletnya. Tersirat perasaan kelam di sana.
"Masa sih?" tanya Indra yang sudah menonton latihannya berulang-ulang.
Hm. Aku tahu dia berpura-pura tenang dan menyembunyikan sesuatu.
Memang, mungkin aku yang salah melihatnya. Tapi aku tahu, akan ada sesuatu yang menyedihkan di sana. Begitu juga Mira yang ketika aku bertemu di akhir acara bercerita bahwa dia sudah sedih sejak awal acara.
Pertunjukan malam tadi benar-benar luar biasa. Papermoon Puppet Theatre yang dirintis oleh Mbak Ria dan Mas Iwan berhasil membawaku masuk ke dalam ceritanya. Dan ikut terhanyut dalam kisahnya yang unbelievably sad!
Kisah bagaimana kehidupan keluarga Baba yang harmonis dan lugu harus menjadi porak-poranda hanya karena segitiga merah yang digambar di salah satu jendelanya. Hubungannya dengan keluarga Haki dan Lacuna, anak perempuannya yang selalu duduk di kursi roda, juga menjadi hancur.
Bagaimana keluarga tersebut tercerai-berai akibat kepentingan penguasa.
Terakhir, Tupu yang masih kecil tampak begitu kesepian, sendiri, dan lemah. Sebelum akhirnya kisah ditutup dengan akhir yang lebih tragis lagi. Argh!
"So depressing," ujar Mira di akhir acara sambil mengusap-usap matanya.
Iya, dia menangis di sepanjang film (edit: pertunjukan, maksudku!). Begitu juga Mbak-Mbak Baju Lorek yang duduk di depanku. Berkali-kali dia menghapus air matanya dengan tisu. Hera matanya tampak sembab, walau mengakunya malam itu ia tidak menangis.
Aku sendiri nyaris menangis. Kerongkonganku sudah mulai tercekat. Mungkin kalau aku menontonnya sendirian, di kamar, seperti ketika aku menonton PS: I Love You, aku juga akan menangis sesenggukan.
Tapi, secara keseluruhan, pertunjukan semalam patut diacungi dua jempol! Pantas saja, di penghujung acara, penonton memberikan tepuk tangan yang cukup panjang untuk pertunjukan malam itu.
Sekali lagi, luar biasa! *plok-plok-plok-plok-plok...*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar