Mwathirika Tak Dihitung Seperti Matematika
-Goethe Institute, Jakarta, Selasa, 18 Januari 2011-
Pertunjukkan Boneka Mwathirika
Di panggung itu kata-kata hilang. Tapi bahasa tidak. Ia menjelma pada gestur boneka yang ekspresif, simbol-simbol yang tersirat, ilustrasi musik yang mengafirmasi cerita, dan catatan-catatan di kepala kita sendiri. Malam itu lima tokoh boneka menjadi bintang sepenggal sejarah. Manusia-manusia yang menghidupkan mereka menjadi bayang-bayang.
Tersebutlah Baba, lelaki pekerja keras bertangan satu yang tinggal bersama kedua puteranya, Moyo dan Tupu. Bertetangga dengan mereka, tinggal Haki dan puterinya yang berkursi roda, Lacuna. Kedua keluarga itu hidup rukun bertetangga dan bahagia. Meski tanpa sosok ibu, anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan wajar.
Tetapi situasi politik kemudian berubah. Semenjak cap segitiga merah tertoreh di jendela rumah Baba, ia menjadi buron. Haki yang mencari aman menjaga jarak. Anak-anak yang tak paham apapun ditinggalkan dalam kebingungan ketika Baba tiba-tiba dibawa pergi oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Moyo akhirnya pergi mencari Baba, namun tak pernah kembali. Si kecil Tupu yang manja lalu sebatang kara, dicengkeram perasaan tidak aman, menghadapi bayang-bayang yang mundar-mandir di sekitarnya, dan pada akhirnya dipeluk dengan nyaman oleh sang pemain boneka. Di sana, seperti masa kini yang memeluk sejarah, dalang dan boneka tidak lagi dipisahkan oleh bingkai.
Lakon ini digarap oleh pasangan suami istri yang bersentuhan langsung dengan sejarah kelam 1959-1969; Maria Tri Sulistyani (anak Letkol TNI AU) dan Iwan Effendi (cucu dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun). Ingatan personal masa kecil itu kemudian melahirkan sebuah kisah yang juga langsung membidik hati dan tidak cerewet menggerutukan hal-hal klise. Sepanjang pementasan, bertaburan simbol yang mungkin tak sepenuhnya kita tahu, tapi seutuhnya dapat dirasakan. Karakter anak-anak yang tanpa tendensi membuat pertunjukkan ini hadir sebagai sub dari sebuah sejarah. “Mwathirika” yang menjadi judul pementasan ini sendiri berarti “korban” (diambil dari Bahasa Swahili, suku di Afrika Timur).
Bicara soal drama dan korban, sore itu di depan Goethe Institute pun sempat terjadi drama kecil akibat demonstrasi dadakan FPI. Akibatnya ada beberapa calon penonton yang menjadi korban, terpaksa pulang dengan kecewa tanpa sempat menyaksikan pertunjukkan boneka luar biasa Mwathirika dari Papermoon Puppet.
Di masa kini, sejarah mungkin hilang. Tetapi peristiwa yang pernah melintasi suatu masa tidak pernah hilang. Ia mewujud pada apa saja. Menjelma menjadi apa saja …
Sundea
mengenai Mwathirika dapat di-klik di sini
mengenai Papermoon Puppet dapat di-klik di sini
*read Sundea's wonderful writings in HERE ;)